Saturday, August 20, 2011

PATOLOGI VASKULER TULI MENDADAK PADA DIABETES MELITUS (Lenny Buana Wuriningtyas)


PENDAHULUAN

Tuli mendadak dapat menjadi pengalaman yang berarti bagi seseorang sehubungan dengan fungsi pendengaran sangat penting. Berkurangnya pendengaran menyebabkan rasa sunyi dan kadang disertai dengan tinitus. Penderita menjadi takut dan putus asa terhadap kesembuhan dan kondisi yang dialaminya.1
Ketulian mendadak pada diabetes melitus atau idiopathic sudden hearing loss didefinisikan sebagai ketulian mendadak dalam hal waktu kejadian dan penyebabnya belum jelas. Patogenesis dari idiopathic sudden hearing loss sampai saat ini masih belum jelas.2
Salah satu teori terjadinya tuli mendadak adalah adanya gangguan aliran darah koklea.3 Angka kesakitan dan kematian pada diabetes melitus meningkat oleh karena adanya komplikasi berupa gangguan pada makrovaskuler dan mikrovaskuler. Gangguan ini akan mempengaruhi banyak sisterm organ.4 Oleh karena komplikasi ini maka diabetes melitus dipertimbangkan sebagai faktor resiko terhadap kejadian idiopathic sudden hearing loss disamping adanya faktor vaskuler lain seperti hipertensi, hiperlipidemia maupun penyakit kelainan darah seperti sikle cell anemial.5 Terdapat perbedaan derajat klinis serta angka kesembuhan idiopathic sudden hearing loss antara penderita dengan faktor resiko dan tanpa faktor resiko diabetes melitus.2
Tujuan dari referat ini adalah untuk mengetahui patogenesis dari idiopathic sudden hearing loss secara umum, patogenesis pada diabetes mellitus, patologi vaskuler tuli mendadak pada diabetes melitus sehingga dapat memberikan informasi mengenai penatalaksanaan idiopathic sudden hearing loss pada penderita diabetes melitus, serta membuka wacana mengenai adanya hubungan antara diabetes melitus dan kejadian tuli mendadak.

1. Epidemiologi
1.1 Tuli mendadak
Angka kejadian tuli mendadak di Amerika pada tahun 70-an kurang lebih 5-10 kasus per 100.000 orang per tahun.6 Angka kejadian tuli mendadak di Amerika mengalami peningkatan pada tahun 80-an menjadi kurang lebih 5-20 kasus per 100.000 orang/tahun dengan distribusi yang seimbang pada laki-laki dan perempuan. Kejadian tuli mendadak dapat mengenai berbagai usia mulai usia anak maupun dewasa.1
Penelitian di RSUD dr. Soetomo (1990-1993) oleh Wiyadi7 mendapatkan 53 penderita tuli mendadak. Penelitian di tempat yang sama oleh Wachid8 pada periode tahun 1997-2002 didapatkan 374 penderita tuli mendadak dengan distribusi jumlah penderita laki-laki kurang lebih sama dengan penderita perempuan.
Definisi dari tuli mendadak berdasar pada tingkat keparahan, waktu terjadinya, kriteria audiometri dan spektrum frekuensi yang hilang. Tuli mendadak terjadi tiba-tiba, bisa dalam beberapa hari, selektif pada frekuensi rendah atau tinggi dan terdapat distorsi persepsi percakapan.3 Ketulian bersifat sensorineural lebih dari 30 dB dalam 3 kali pemeriksaan audiometri nada murni pada frekuensi terus menerus dalam 3 hari. Tuli mendadak dapat terjadi pada laki-laki dan perempuan serta pada semua usia dengan puncaknya pada usia 30-60 tahun. Tuli mendadak pada umumnya disertai dengan tinitus. Tuli mendadak kadang-kadang disertai vertigo, baik vertigo spontan maupun vertigo posisional. Tuli mendadak dapat sembuh spontan dalam waktu kurang lebih 2 minggu.3,9,10

1.2 Diabetes melitus
Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), jumlah penderita penyakit diabetes melitus (DM) di Indonesia mencapai 17 juta orang atau 8,6% dari 220 juta populasi pada tahun 2001. Angka kejadian in diperkirakan terus meningkat.11
Diabetes melitus merupakan suatu kondisi yang secara umum ditandai oleh kekurangan jumlah produksi insulin atau resistensi terhadap kerja insulin. Diabetes melitus merupakan kelompok kelainan yang secara klinis, etiologi maupun genetik heterogen. Diabetes melitus dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe 1 (insulin dependent diabetes mellitus/IDDM) dan tipe 2 (non insuin dependent diabetes melitus/NIDDM/adult tipe diabetes). Jumlah kasus diabetes melitus tipe 2 diperkirakan 90% dari total kasus diabetes melitus. Pada diabetes melitus tipe 1 terjadi kerusakan lebih dari 90% sel pankreas yang menghasilkan insulin sedangkan pada tipe 2 terjadi resistensi terhadap efek insulin meskipun produksi insulin banyak.12

1.3 Tuli mendadak pada diabetes melitus
Angka kejadian tuli mendadak disertai diabetes melitus di Jepang berkisar antara 15-25% dari pasien tuli mendadak.13 Sedangkan di Indonesia khususnya di RSUD Dr. Soetomo Surabaya, selama ini belum ada penelitian yang menggambarkan angka kejadian tuli mendadak pada diabetes melitus.

2. Vaskuler Koklea
2.1 Anatomi vaskuler koklea
2.1.1 aliran darah koklea
Aliran darah ke koklea diperankan oleh arteri labirintin (gambar 1).14 Arteri ini cabang dari arteri anterior inferior serebelar dan mengikuti N. VIII ke dalam meatus auditorius interna. Arteri labirintin memberi tiga cabang. Cabang yang pertama yaitu arteri vestibularis anterior yang menuju ke apparatus vestubular memberi aliran darah pada N. VIII, bagian dari sakulus, utrikulus dan kanalis semisirkularis. Cabang yang kedua adalah arteri vestibular-koklearis yang memberi aliran darah pada bagian basal koklea, sakulus, utrikulus dan bagian dari kanalis semi sirkularis. Cabang ketiga adalah arteri spiralis modiolar yang berfungsi sebagai aliran darah kolateral pada koklea, sedangkan arteri labirintin sendiri berakhir sebagai arteri dengan sedikit bahkan tanpa aliran darah kolateral pada koklea (gambar 2).15,16
Hal lain penting untuk diketahui bahwa arteri labirintin yang melalui meatus auditori interna bukan berupa arteri tunggal tetapi beberapa arteriol yang lebih kecil hampir mirip seperti pleksus arteri. Struktur ini seperti rangkaian paralel arteri berdiameter kecil dan berkontribusi untuk menyediakan aliran darah yang konstan ke koklea dan sistem vestibuler. Oleh karena itu penting untuk menghindarkan sel-sel sensori auditori dari stimulasi pulsasi aliran darah menuju koklea.14,16
Arteri labirintin sebagai pleksus arteriol ikut membentuk struktur stria vaskularis pada skala media dari koklea.17

Gambar . 1 Arteri labirintin 14
Arteri labirintin cabang dari arteri cerebelaris anterior inferior berjalan bersama nervus koklearis dan nervus vestibularis menuju koklea dan organ keseimbangan


Gambar 2. Arteri labrintin beserta percabangannya 16
Cabang a. labirintin : a. vestibularis anterior, a. vestibulokoklearis dan a. spiral modiolar.

2.1.2 stria vaskularis
Stria vaskularis merupakan suatu struktur kaya pembuluh darah yang sangat aktif secara metabolik. Struktur ini bertanggung jawab terhadap pemeliharaan komposisi kimia dan elektrisitas ruang endolimfatik. Stria vaskularis merupakan struktur rumit dengan banyak lipatan dan indentasi untuk meningkatkan luas permukaan. Pada stria vaskularis terdapat tiga tipe sel yang tersusun dalam tiga lapisan (gambar 3). Inner basal cell merupakan satu lapisan yang kontinyu dan sel ini berasal kemungkinan dari neural crest atau mesodermal. Lapisan terluar membatasi lumen duktus koklearis dan terdiri dari sel epitelial. Diantara dua lapisan sel ini terdapat sel intermediet dengan tipe migratory melanocyte. Sel-sel tersebut diatas bertanggung jawab terhadap potensial endokoklear dan komposisi endolimp yang tinggi ion kalium. Hal ini penting untuk tranduksi dari suara. Sel intermediet dan sel basal bergabung melalui gap junction. Protein pada gab junction seperti connexin kemungkinan juga berperan dalam mempertahankan konsentrasi ion kalium yang tinggi dalam cairan endolimp.17,18

Gambar 3. Susunan sel pada stria vaskularis 17
Stria vaskularis terdiri dari tiga lapis sel yaitu sel basal, sel intermediet dan sel epitel marginal.

2.2 Fisiologi vaskuler koklea
Daya penggerak utama untuk terjadinya transduksi sensori (sensory transduction) disediakan oleh potensial endokoklear, sedangkan potensial endokoklear sendiri dihasilkan oleh stria vaskularis. Stria vaskularis secara fungsional terdiri dari dua lapisan epitel yaitu sel marginal dan sel basal serta terdapat sel intermediet diantaranya. Kedua lapisan epitel ini dibatasi oleh tight junction. 18
Keseimbangan asam basa pada (pH buffer) cairan endolimp diperankan oleh HCO3- dan CO2, sedangkan protein memiliki sedikit peranan dalam keseimbangan asam basa cairan endolimp.
Keseimbangan pH pada cairan koklea berkaitan dengan sensitivitas ion channel, transport dan enzim metabolik. pH endolimp tergantung pada sekresi HCO3- dan H+, serta aktivitas karbonik anhidrase. Proses pengaturan pH ini terjadi pada stria vaskularis (gambar 4).17


Gambar 4. Stria vaskularis dan rantai penghasil HCO3- .17
Proses perubahan CO2 menjadi HCO3- dan H+ pada srtia vaskularis akan mempengaruhi keasaman (pH) pada cairan endokoklear.


Fungsi lain dari stria vaskularis adalah sebagai pengatur siklus ion K+, Na+, dan Cl- (gambar 5). Sistem transport yang melibatkan sekresi ion K+ dan potensial endokoklea sangat penting, karena gangguan pada proses ini akan menyebabkan penghentian sekresi ion K+, kolaps endolymphatic compartment, dan kegagalan untuk menghasilkan potensial endokoklear .17





Gambar 5. Siklus ion kalium, natrium dan klorida pada stria vaskularis.17
Proses pertukaran ion kalium, natrium dan klorida pada stria vaskularis akan mempengaruhi potensial endokokhlea

Aktivitas metabolik pada level koklea menginfomasikan adanya kebutuhan pemeliharaan oksigenasi koklea, persediaan zat metabolik (metabolic substrates) dan eliminasi dari sisa metabolik. Bermacam cairan dapat masuk ke perilimp melalui pembuluh darah, akan tetapi adanya pembatas selektif darah dan perilimp (blood-perilymph barrier selective) memberikan selektivitas transport antara dua ruang cairan. Sebagai contoh, glukosa lebih mudah di serap oleh perilimp dari pembuluh darah sehingga perilimp dapat berfungsi sebagai reservoir untuk glukosa yang dapat masuk ke ruang endolimp untuk digunakan dalam proses metabolisme aktif sel.19
Regulasi dari aliran darah koklea berada di bawah kontrol lokal (autoregulasi) maupun sistemik. Perubahan dari diameter arteri mediolar mempengaruhi jumlah aliran darah ke koklea.19

3. Patogenesis Vaskuler Koklea
Teori mengenai terjadinya tuli mendadak secara umum dibagi menjadi empat teori yaitu adanya infeksi virus, vascular compromise, ruptur membran intrakoklea dan adanya penyakit imun pada telinga dalam (immune inner ear disease).1

3.1 Tuli mendadak
Teori vascular compromise menyatakan aliran darah kokleo-vestibular dipengaruhi oleh kelainan sirkulasi seperti emboli, trombosis, vasospasme, dan hiperkoagulabilitas atau viskositas tinggi yang menyebabkan terjadinya tuli mendadak. Oklusi pada arteri labirintin akan menyebabkan gejala auditorik maupun vestibular. Oklusi sementara dari aliran darah akan mempengaruhi frekuensi rendah lebih dahulu karena daerah ini yang mendapat aliran darah paling distal.1,20 Gangguan vaskuler akan mengakibatkan penurunan aliran darah di koklea sehingga terjadi suatu keadaan anoksia. Anoksia dalam satu menit dapat menimbulkan kerusakan membran tektoria dan setelah enam bulan akan terbentuk jaringan fibrous pada telinga bagian dalam.6
Hipertensi menyebabkan vasospasme dan kelainan kardiopulmonar yang dapat mengakibatkan emboli serta trombosis. Akibat dari kondisi ini akan menyebabkan tuli mendadak. Infark pada arteri cerebelar anterior juga dapat menyebabkan terjadinya tuli mendadak. Hiperkolesterolimia sebagai faktor resiko tuli mendadak oleh karena pada keadaan ini akan terjadi atherosklerosis. Infeksi virus juga dapat menyebabkan ganggauan pada vaskular berupa atropi stria vaskularis. Penyakit imun seperti Takayasu disease akan menyebabkan vaskulitis yang mengganggu aliran darah koklea dan dapat mengakibatkan tuli mendadak.17
Pada studi temporal bone pathology tuli mendadak karena virus, ditemukan adanya perubahan degeneratif berupa atropi dari organ Corti, membran tektorial dan stria vaskularis. Histopatologi yang lain menyebutkan adanya robekan pada membrane intrakoklea, oklusi permanen dari vaskuler labirintin termasuk necrosis dari membranous labirin yang diikuti oleh osifikasi dan fibrosis.10

3.2 Diabetes melitus
Ganguan pendengaran pada penderita diabetes melitus biasanya bertahap, bilateral, mengenai semua frekuensi dan bersifat tuli sensorineural. Disamping ciri tersebut, pada beberapa kasus ditemukan adanya gangguan pendengaran yang mendadak, unilateral dan kadang disertai atau tanpa disertai gangguan vestibuler yaitu vertigo dan tinnitus. Ekorini21 (2002) menyatakan pada penelitian yang dilakukan diperoleh 81,25% penderita diabetes dengan tuli sensorineural mempunyai karakteristik bilateral simetris. Hal ini sesuai dengan patogenesis terjadinya komplikasi vaskuler, maka mikroangiopati bersifat kronis yang mengenai pembuluh darah sehingga gangguan pendengaran yang terjadi bilateral.
Kadar gula darah yang tinggi dalam jangka lama menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Penyempitan ini bisa disebabkan karena kompleks zat tinggi gula berada dalam dinding vaskuler sehingga menyebabkan dinding pembuluh darah menjadi tebal dan rapuh. Kadar gula yang tinggi disertai peningkatan kadar lemak darah menghasilkan terjadinya aterosklerosis.14 Beberapa teori mengenai mikro angiopati ini diantaranya adalah sorbitol theory, modification of protein kinase C activity, dan glycation hypothesis (gambar 6).22


Gambar 6. Mikroangiopati pada diabetes melitus22
Resistensi insulin berkontribusi pada disfungsi endotel dan inflamasi dinding pembuluh darah. Disfungsi endotel ditandai dengan gangguan proliferasi sel, platelet adhesion/aggregation, permeabilitas vaskular, interaksi lekosit-endotel, serta kerusakan respon vasomotor berupa berkurangnya vasodilatasi dan peningkatan endothelium-dependent contraction. Inflamasi dinding pembuluh darah disertai peningkatan kadar gula mengawali terjadinya aterosklerosis (gambar 7).23
Gambaran histologi vaskuler pada diabetes melitus yaitu adanya penebalan dinding pembuluh darah, penebalan lamina vaskularis dan penebalan dari membran basalis kapiler.23


Gambar 7. Pembentukan aterosklerosis23
3.3 Tuli mendadak pada diabetes melitus
Pada keadaan akut dapat terjadi trombosis pembuluh darah karena viskositas darah meningkat sehingga menyebabkan gangguan unilateral.21 Kegagalan keseimbangan pelepasan ion K+ oleh sel intermediet dan sekresi transepitelial ion K+ oleh sel marginal stria vaskularis dapat mengawali terjadinya akumulasi ion K+ pada cairan didalam ruang intrastria yang dapat meniadakan potensial endokoklear. Keasaman yang akut dari cairan koklea akan mengurangi potensial endokoklea. Asidifikasi juga akan meningkatkan radikal bebas (free radical stress) dan kejadian ketulian, sedangkan alkalinisasi memiliki efek perlindungan. Metabolik asidosis dan gangguan regulasi pH kokhlea dikaitkan dengan ketulian.17
Patogenesis vaskular dari tuli mendadak mengarah pada adanya kejadian tiba-tiba dan anatomi vaskular koklea dengan arteri labirintin sebagai fungsional end artery dan merepresentasikan kepekaan lingkungan mikrosirkulasi yang mudah terpengaruh oleh gangguan vaskular sebagai jalur akhir.24
Studi klinik telah menginvestigasi kemungkinan adanya hubungan antara diabetes dan ketulian.25 Hubungan antara diabetes dan ketulian telah dipostulasikan sejak pertengahan abad ini. Diabetes melitus mempengaruhi ketulian telah ditunjukkan pada banyak penelitian. Banyak penelitian mencoba mengidentifikasi penyebab dan mekanisme paling mungkin adalah mikroangiopati dari telinga dalam, neuropati nervus koklearis, atau kombinasi keduanya, disfugsi outer hair cell dan gangguan pada potensial endolimfatik. Hal tersebut berdasarkan konklusi penelitian.26
Sampai sejauh ini bermacam faktor seperti aterosklerosis, hipertensi arterial, hiperlipidemia dan diabetes angiopati diajukan sebagai underlying pathogenesis tuli mendadak. 13
Diabetes melitus dapat menyebabkan kerusakan vaskuler sama seperti gangguan mikrosirkulasi yang melibatkan peningkatan viskositas darah yang mendadak serta episode embolik dan tromboembolik. Secara umum dikatakan diabetes melitus bisa dipertimbangkan sebagai penyebab tuli mendadak dalam hal ini idiopathic sudden hearing loss (ISHL).2
Michiaki et al (2003) menyatakan bahwa dari 148 subjek penelitian yaitu penderita tuli mendadak, sejumlah 24 orang diantaranya disertai dengan diabetes melitus tipe 2. Data yang didapatkan menyebutkan pula adanya prevalensi hipertensi dan hiperlipidemia yang lebih tinggi pada penderita dengan diabetes melitus dibandingkan penderita tanpa diabetes melitus. 2
Studi patologis berpendapat bahwa adanya keterlibatan mikroangiopati pembuluh darah telinga dan berikut dengan atropi stria vaskularis dan kehilangan sel-sel rambut.27
Penelitian pada binatang dengan diabetes melitus menunjukkan adanya penebalan dari membran basal kapiler pada stria vaskularis.25
Perubahan mikroangiopati yang dikonfirmasi dengan adanya penelitian histopatologis pada telinga dalam penderita diabetes melitus. Hasil penelitian histopatologis menyatakan adanya penebalan pada stria vaskularis disertai penyempitan lumen sama halnya dengan kehilangan sel-sel ganglion dan demielinasi dari pembungkus serabut saraf N. VIII. Keterlibatan basal membran dari vaskular dikaitkan dengan pengurangan sel-sel rambut. Fakta yang diperoleh yaitu terdapat kehilangan sel-sel rambut luar yang signifikan ditemukan pada koklea tikus SHR/N-cp, yaitu suatu model untuk diabetes mellitus tipe 2. Penemuan ini mengarahkan pada adanya hubungan antara diabetes mellitus tipe 2 dengan kerusakan pada telinga dalam dan mengindikasikan kehilangan sel rambut luar terkait pula dengan hiperglisemia atau pada predisposisi intoleransi glukosa genetik. Kerusakan sensoris sebagai aspek adanya neuropati sentral maupun perifer masih belum diketahui.28
Michiaki et al (2003) mengatakan bahwa berdasar temuan histologis pada temporal bone studies didapatkan adanya penebalan dinding mikrovaskular telinga tengah yang menggambarkan penderita diabetes melitus bisa berada dalam resiko tinggi terjadi ischemic injury pada telinga dalam. Penelitian terakhir mendemonstrasikan bahwa tingkat keparahan dari ketulian penderita dengan ISHL dipengaruhi oleh keberadaan diabetes melitus dan dengan laporan histologi sebelumnya dapat mendukung adanya etiologi mikrovaskuler. Data makrovaskuler (melalui USG karotis menunjukkan skor plak yang tinggi pada penderira idiopathic sensory hearing loss disertai diabetes melitus) dapat secara tidak langsung mendukung kemungkinan gangguan pada mikrovaskuler kokhlea sehubungan dengan diabetes melitus.2

4. Prognosis
Sampai sejauh ini bermacam faktor seperti aterosklerosis, hipertensi arterial, hiperlipidemia dan diabetes angiopati diajukan sebagai underlying pathogenesis tuli mendadak. Beberapa laporan menyatakan bahwa umur, hipertensi, diabetes dan hiperlipidemia sebagai indikator progosis kurang baik serta merupakan pencerminan adanya disfungsi mikrovaskular di kokhlea yang meningkatkan hasil akhir yang buruk.13
Prognosis tuli mendadak yang mengenai frekuensi rendah lebih baik dibandingkan yang mengenai frekuensi tinggi.3,9,10
Pendengaran yang terpengaruh pada penderita diabetes melitus juga lebih buruk. Berdasarkan presentase maka diperoleh sekitar 16,2 % penderita tuli mendadak diketahui pula menderita diabetes melitus.2
Orita et al (2007), menyebutkan dalam hasil penelitiannya bahwa penderita tuli mendadak dengan diabetes melitus memiliki ambang dengar yang lebih buruk dibandingkan dengan penderita tanpa diabetes melitus.29


RINGKASAN
Teori mengenai terjadinya tuli mendadak masih belum jelas tetapi sebagian besar membagi mekanisme tuli mendadak menjadi empat teori yaitu infeksi virus, vascular compromise, ruptur membran intrakokhlea dan penyakit imun pada telinga dalam.
Tuli mendadak dapat dipengaruhi lebih dari satu faktor resiko yaitu diabetes melitus, hipertensi, hiperkolesterolemia, infeksi virus, penyakit imun.
Diabetes melitus merupakan penyakit yang memiliki komplikasi ke vaskular, dimana gangguan pada vaskular merupakan salah satu teori patogenesis tuli mendadak. Teori vaskular menyebutkan adanya gangguan pada stria vaskularis sehingga mempengaruhi metabolik sel di koklea, secara akut menyebabkan penurunan potensial endokoklea yang mengganggu tranduksi suara sehingga dapat terjadi tuli mendadak. Histopatologi telinga dalam pada diabetes melitus terjadi kelainan vaskular mikroangiopati dan penebalan dinding stria vaskularis.

















REFLEKS AKUSTIK TELINGA TENGAH (Lenny Buana Wuriningtyas)




PENDAHULUAN

Salah satu fungsi telinga tengah adalah pengubah impedansi suara. Fungsi tersebut memperbaiki transmisi suara ke kokhlea. 1
Struktur telinga tengah yang dapat menyebabkan perubahan impedansi terhadap suara, salah satunya melalui kontraksi m. tensor timpani dan muskulus stapedius.2
Muskulus tensor timpani dan stapedius menimbulkan kontraksi pada osikula saat telinga terpapar suara dengan intensitas tinggi. Muskulus stapedius akan menarik stapes menjauhi tingkap oval dari kokhlea,sementara muskulus tensor timpani menarik maleus pada membran timpani. Hal ini disebut refleks akustik telinga tengah. Refleks ini suatu respon kontraksi otot bersifat involunter dan reflektif, yang terdapat pada telinga tengah mamalia apabila telinga terpapar oleh suara dengan intensitas tinggi.2,3,4
Refleks akustik menurunkan transmisi energi getaran yang diteruskan ke kokhlea, dimana energi getaran diubah menjadi impuls listrik untuk diproses di otak. Refleks akustik normal terjadi pada paparan suara dengan intensitas relatif tinggi. Aktivasi refleks karena rangsangan suara dengan intensitas rendah menunjukkan disfungsi dari telinga, sementara ketiadaan refleks menandakan sensorineural hearing loss.2
Tujuan penulisan tinjauan pustaka ini untuk lebih memahami refleks akustik meliputi struktur anatomi yang terlibat, jalur neurotologi, fungsi dan manfaat klinis pemeriksaan refleks akustik.

1. Anatomi dan Fisiologi Refleks Akustik
1.1 Anatomi Refleks Akustik
Struktur anatomi telinga tengah yang terlibat pada refleks akustik ini meliputi muskulus tensor timpani dan muskulus stapedius. Kedua muskulus ini melekat pada rantai osikula dan merupakan otot terkecil tubuh, dari kedua otot tersebut muskulus tensor timpani berukuran lebih besar dibandingkan muskulus stapedius (gambar 1).3,5 Kedua muskulus ini tediri dari dua bagian yaitu serat bergaris dan serat otot polos yang menyebabkan kontraksi involunter selama stimulasi akustik. Refleks kontraksi dimulai pertama kali pada serat otot bergaris dan dipertahankan tonusnya oleh serat polos.5 Muskulus tensor timpani dan stapedius secara embriologi berasal dari perkembangan mesenkim arkus brankialis pertama dan kedua.6

Gambar 1. Struktur telinga tengah. 1. Maleus 2. Incus 2´. Prosesus lentikularis 3. Stapes 4. Membran timpani 5. Tingkap oval 6. Tendon m. tensor timpani 7. Tendon m. Stapedius7
Bagian dari m. tensor timpani dan m. stapedius yang berada dalam kavum timpani adalah tendon (gambar 2).8

Gambar 2. Tendon muskulus di telinga tengah8
1.1.1 Muskulus stapedius
Muskulus ini berukuran panjang 6 mm dan luas penampang melintang 5 mm2. Muskulus ini seluruhnya berada dalam kanal tulang di pyramid eminence yang teletak pada dinding posterior kavum timpani. Tendon dari muskulus stapedius ini keluar dari puncak pyramid eminence menuju ke depan untuk berinsersio pada permukaan posterior kolum stapes, sedikit diatas krus posterior. Kontraksi dari muskulus stapedius akan menarik stapes ke arah posterior. Inervasi motorik muskulus ini oleh nervus kranialis VII (gambar 3). 1,3


Gambar 3. Muskulus stapedius9

1.1.2 Muskulus tensor timpani
Muskulus ini berukuran kurang lebih panjang 25 mm dan luas penampang melintang 5.85 mm2 dan terletak dalam semikanal muskulus tensor timpani, dimana kanal ini berada pada dinding anterior kavum timpani, sedikit diatas tuba Eustachius. Tendon m. tensor timpani keluar dari dinding telinga tengah, berjalan turun mengelilingi prosesus kokhleariformis untuk menyusuri sisi lateral puncak manubrium maleus. Maleus ditarik ke anteromedial saat m. tensor timpani berkontraksi. Muskulus tensor timpani di inervasi oleh nervus kranialis V (Trigeminal) ramus mandibula.1,3

1.2 Fisiologi Refleks Akustik
1.2.1 Muskulus stapedius
Muskulus ini berkontraksi oleh aktivasi suara dengan intensitas tinggi dan berfungsi membatasi amplitudo stapes.5 Kontraksi m. stapedius tidak menyebabkan pergerakan membran timpani yang dapat diamati tetapi dapat meningkatkan impedansi akustik telinga tengah sehingga dapat dicatat dengan mengukur perubahan impedansi telinga.1 Kontraksi ini disebut sebagai refleks stapedius yang merupakan refleks akustik telinga tengah.4

1.2.2 Muskulus tensor timpani
Suara keras secara langsung menimbulkan aktivasi m. tensor timpani sehingga membran timpani tertarik ke dalam kearah kavum timpani. Kontraksi muskulus ini disebut refleks muskulus tensor timpani dan merupakan bagian dari refleks akustik telinga tengah.5
Hasil kontraksi kedua muskulus ini menggerakan struktur telinga tengah (maleus dan stapes) kearah yang berbeda atau bersifat antagonis tetapi merupakan sistem kerja yang sinergis karena kekuatan kontraksi digunakan pada osikula tegak lurus terhadap axis rotasi primer dari rantai osikula. Efek utama kontraksi ini menjadikan sistem transmisi telinga tengah lebih sulit dan tidak seefektif transmisi pada suara normal.3,10,11 Transmisi suara berfrekuensi rendah (< 2 Hz) dilemahkan oleh kontraksi kedua muskulus telinga tengah dan fungsi melemahkan dari m. stapedius lebih baik dari pada m. tensor timpani.4,11 Kontraksi dari kedua muskulus ini diaktivasi oleh suara keras, sebelum dan selama vokalisasi (berbicara ataupun berteriak), mengunyah dan menguap sama seperti kontraksi yang dikarenakan respon terhadap aktivasi bersifat akustik yang dihasilkan suara dengan intensitas tertentu, rangsangan taktil pada wajah dan kepala, serta flight behavioral response.1 Kontraksi ini mirip dengan stimulasi pada telinga dan bagian dari wajah (the nonacoustic reflex).3 2. Refleks Akustik Telinga Tengah Kontraksi muskulus stapedius mengurangi transmisi di telinga tengah, sehingga berperan menjaga input suara yang melebihi ambang batas refleks kurang lebih konstan terhadap kokhlea. Refleks yang baik penting untuk perlindungan terhadap kerusakan pendengaran karena paparan suara.1 Pengukuran refleks akustik bermanfaat untuk diagnosa neurotologi karena melibatkan telinga, sistem saraf auditori asenden menuju nukleus superior olivary complex (SOC) dan arcus efferent reflex yang melibatkan motonukleus nervus kranialis serta sebagian besar bagian sentral nervus kranialis.1,13 Pengurangan intensitas oleh karena kontraksi muskulus ini kurang lebih sekitar 5-14 dB (sampai 20 dB) pada kebisingan dengan intensitas tinggi dan 2-5 dB untuk suara dengan intensitas rendah.2,10 Fungsi lain dari kontraksi ini melemahkan suara frekuensi rendah (bersifat masking). Refleks bertindak mensupresi suara pelan sehingga transmisi suara yang mengalami perubahan intensitas cepat tidak berpengaruh. Fungsi ini bersama-sama dengan fungsi N. VIII.1,4,11,14 Respon terjadi pada kedua telinga saat satu telinga terpapar oleh suara dengan intensitas tertentu, dimana respon oleh telinga yang mendapat stimulasi lebih kuat dibandingkan respon telinga kontralateral. Refleks akustik sebagai respon adaptasi terhadap stimulasi terus-menerus selama 15 menit. Penurunan refleks secara bertahap terjadi pada paparan kebisingan dengan waktu lama.10 2.1 Teori refleks akustik telinga tengah Beberapa teori mengenai refleks akustik telinga tengah yaitu : protective intensity control, accommodation or frequency selection, prevention of aural harmonic, fiksasi, perceptual, desensititation, interference dan injury protection. 3,4,5,13 2.1.1 Teori protective intensity control Efek refleks akustik pada kemampuan telinga adalah mereduksi transmisi pada frekuensi rendah (< 2 kHz). Mekanisme refleks ini menyediakan proteksi terhadap koklea dari stimulasi berlebihan oleh suara bising yang keras (>4 kHz).5,13
2.1.2 Teori accomodation or frequency selection
Teori ini mengatakan bahwa pada frekuensi tertentu, kontraksi muskulus secara selektif meningkatkan sensitifitas pendengaran.5
2.1.3 Teori prevention of aural harmonic
Efek masking pada frekuensi rendah oleh kontraksi muskulus dan eliminasi dari harmonic secara nyata memperbaiki ketajaman pendengaran pada nada tinggi.5

2.1.4 Teori fiksasi
Muskulus tensor timpani mempunyai fungsi sederhana dan jelas untuk menyediakan stabilitas suspensi rantai osikula.4
2.1.5 Teori perseptual
Menurut Simmon’s (1964) muskulus pada telinga tengah memperbaiki persepsi pendengaran melalui tiga cara :3
a. Respon terhadap frekuensi oleh mekanisme konduksi, diperhalus oleh tonus m. intra timpani.
b. Modulasi pada tonus muskulus memperbaiki lingkungan akustik dengan memvariasikan karakteristik intensitas dan frekuensi suara lingkungan.
c. Aktivasi muskulus akan melemahkan internal sound berfrekuensi rendah tanpa mengurangi suara dengan frekuensi lebih tinggi pada lingkungan.
2.1.6 Teori desensititation, interference and injury protection
Borg et al (1984) mengemukakan teori :3
a. Desensitisation
Desensitisasi (seperti pada percakapan) dapat dijaga karena kontraksi muskulus telinga tengah mengurangi inteferensi ketika sedang makan, berbicara, berteriak.3 Kontraksi selama mengunyah atau pergerakan wajah dan tubuh dapat melemahkan internal body sound yang sebagian besar berfrekuensi rendah.
b. Interference
Interferensi dijaga karena kontraksi m. intra timpani, melemahkan percakapan pada frekuensi rendah yang melindungi percakapan dengan frekuensi lebih tinggi
c. Injury protection
Cedera terhadap pendengaran dapat di hindari dengan melemahkan intensitas suara. Refleks akustik memperbaiki dynamic range dari sistem auditori dengan melemahkan suara berfrekuensi rendah.

2.2 Jalur Refleks Akustik Telinga Tengah
Refleks akustik mulai dari input pada N. VIII dan berakhir output pada N. VII.14 Arkus refleks stapedius melibatkan kokhlea, nervus auditori, ventral cochlear nucleus (VCN), trapezoid body, superior olivary complex (SOC/MSO) dan motonukleus nervus kranialis V. Hubungan ipsilateral dan kontralateral dari facial motornuclei melalui interneuron pada medial superior olive. Populasi neuron facial motonuclei yang terlibat pada refleks akustik berada pada tepi facial motonuclei berbatasan dengan superior olivary complex.1,13
Bagian refleks akustik yang bersifat sensori berasal dari stimulasi kokhlea melalui nervus auditori (N. VIII) menuju sisi ipsilateral ventral cochlear nucleus. Arkus refleks akustik diteruskan oleh neuron dari ventral cochlear nucleus melewati trapezoid body menuju dua jalur ipsilateral dan dua jalur kontralateral. 3,13

Gambar. 4 Jalur Refleks Akustik Telinga Tengah16
Jalur ipsilateral berasal dari VCN menuju nukleus fasialis, dimana motorneuron dari nervus fasialis (N. VII) meneruskan ke muskulus stapedius pada sisi yang sama dari stimulus oleh neuron menuju nukleus nervus fasialis ipsilateral dimana motorneuron N. VII mengaktivasi muskulus stapedius ipsilateral. Jalur kontralateral berasal dari N. VIII kemudian menuju VCN menyeberang melewati trapezoid body menuju SOC kontralateral, dilanjutkan pada nukleus N. VII dan akhirnya pada muskulus stapedius (gambar 4).3,13,15,16

2.3 Pemeriksaan Fungsi Refleks Akustik Telinga Tengah
Penilaian refleks akustik melibatkan paparan stimulus suara bising atau nada murni untuk menimbulkan refleks muskulus stapedius. Perubahan immitance pada telinga dimonitor menggunakan alat timpanometri.3
2.3.1 Pengukuran refleks akustik telinga tengah
Refleks akustik telinga tengah dinilai melalui pemeriksaan impedance audiometri dan acoustic immittance.12 Kontraksi muskulus telinga tengah menjadikan peningkatan derajat kekakuan telinga (stiffness) yang mengarah pada refleks akustik telinga tengah diukur melalui electroacoustic bridge.14 Refleks akustik dapat pula dipelajari menggunakan pemeriksaan elektromiogram, perubahan tekanan pada external canal dan perubahan impedance.4
a. Pemeriksaan refleks akustik telinga tengah kontralateral dan ipsilateral
Kekuatan diagnosis refleks akustik dimaksimalkan dengan mengkombinasikan pemerikasan refleks ipsilateral dan bilateral/kontralateral.
Pemeriksaan refleks kontralateral mempunyai tiga kelebihan yaitu :3
1) Refleks kontralateral sensitif terhadap kelainan yang melibatkan jalur refleks yang menyilang. Kelainan retrokoklear bisa terlewatkan bila hanya menggunakan pemeriksaan refleks ipsilateral.
2) Pemeriksaan refleks ipsilateral memiliki kecenderungan terdapat artefak pemeriksaan dari pada pemeriksaan kontralateral. Hal ini dikarenakan sinyal stimulus dan probe tone dipaparkkan pada satu telinga.
3) Pemeriksaan kontralateral mampu menyediakan data normatif yang lebih lengkap.
Kelebihan refleks ipsilateral yaitu :
1) Sensitivitas lebih baik dari kontralateral berhubungan dengan proses patologis pada telinga tengah. Sensitivitas yang tinggi disebabkan karena pemeriksaan ini dipengaruhi efek stimulus telinga dan efek probe pada telinga dari gangguan konduksi.
2) Telinga yang diperiksa tidak saling mempengaruhi. Stimulus dan probe pada telinga yang sama, sehingga kelainan dari telinga berlawanan tidak mempengaruhi hasil pemeriksaan.

b. Respon tes refleks akustik
Respon refleks akustik sebagai peningkatan impendance atau penurunan dari admittance selama pemeriksaan digambarkan berupa respon monophasic. Respon normal dapat berupa biphasic dengan penurunan singkat pada awal onset respon diikuti peningkatan impedance. Gambaran lain yaitu penurunan impedance pada awal dan akhir onset respon. Gambaran ini merupakan respon biphasic abnormal yang dijumpai pada otosklerosis terutama pada tahap awal, sindroma Cogan’s, fiksasi stapes kongenital, osteogenesis imperfecta. Respon double biphasic tidak normal dihubungkan dengan perubahan elastisitas dari stapes dan ligamen anular yang berpengaruh terhadap fiksasi parsial dari basis stapes pada tingkap oval. Pada kondisi tertentu respon biphasic pada awal dan akhir respon dianggap normal apabila didapatkan respon ini pada probe tone dengan frekuensi 600 s/d 700 Hz. Pada otosklerosis pola abnormal terjadi di semua frekuensi (gambar 5).3

Gambar.5 Macam-macam pola refleks akustik. a)stimulus b) dan c) variasi refleks normal d) refleks abnormal3
Pola hasil pengukuran refleks akustik yaitu: 10,15
1) Normal
Acoustic reflex threshold (ART) ipsilateral normal menggambarkan tidak ada gangguan komponen konduksi pada telinga yang mendapat stimulus. ART kontralateral normal menggambarkan tidak ada gangguan komponen konduksi pada telinga yang mendapat stimulus dan yang di ukur. Refleks positif baik ipsilateral maupun kontralateral terjadi pada sensorineural hearing loss derajat ringan sampai sedang dan menunjukkkan kedua jalur refleks sebagian besar utuh. Jalur kontralateral yang terukur tidak menyediakan informasi yang mengarah pada sensorineural hearing loss pada telinga yang tidak mendapat stimulus (telinga kontralateral).

2) Refleks akustik negatif
Refleks akustik negatif dapat dijumpai pada penderita dengan timpanogram tipe B, beberapa penderita dengan timpanogram tipe A dan sensorineural hearing loss berat.

Pola refleks akustik telinga tengah yang tidak normal meliputi : 15
a) Efferent pattern
Pada pola ini refleks akustik selalu tidak normal pada telinga yang diukur (disebut telinga kedua, telinga yang tidak di stimulus), tanpa melihat telinga mana yang di stimulus. Kelainan pada telinga ini dapat dijumpai pada kelainan telinga tengah (mild conductive hearing loss) dan kelainan nervus fasialis pada telinga kedua. Gambaran efferent pattern yaitu :
(1) Telinga pertama kontralateral : normal
(2) Telinga kedua kontralateral : tidak normal
(3) Telinga pertama ipsilateral: normal
(4) Telinga kedua ipsilateral : tidak normal
b) Afferent pattern
Pada pola ini refleks akustik selalu tidak normal pada telinga yang di stimulus (disebut telinga kedua) tanpa memperhatikan telinga mana yang diukur. Kelainan ini terdpat pada sensorineural hearing loss dan akustik schwanoma pada telinga pertama. Gambaran afferent pattern yaitu :
(1) Telinga pertama kontralateral : normal
(2) Telinga kedua kontralateral : tidak normal
(3) Telinga pertama ipsilateral : tidak normal
(4) Telinga kedua ipsilateral : normal
c) Central pathway pattern
Pada kelainan tipe ini didapatkan kelainan pada refleks akustik yang menyilang dan normal pada ipsilateral. Pola ini didapatkan pada kelainan pada brainstem atau adanya kolaps MAE. Gambaran central pathway pattern yaitu :
(1) Telinga pertama kontralateral : tidak normal
(2) Telinga kedua kontralateral : tidak normal
(3) Telinga pertama ipsilateral : normal
(4) Telinga kedua ipsilateral : normal
d) Unilateral/ipsilateral pattern
Pada pola ini dijumpai semua refleks tidak normal kecuali pada sisi ipsilateral yang diukur pada telinga kedua. Pola ini terdapat pada kelainan telinga tengah (moderate conductive hearing loss) dan kelainan pada brainstem yang mengenai jalur menyilang dan jalur ipsilateral telinga pertama. Gambaran unilateral/ipsilateral pattern yaitu :
(1) Telinga pertama kontralateral : tidak normal
(2) Telinga kedua kontralateral : tidak normal
(3) Telinga pertama ipsilateral : tidak normal
(4) Telinga kedua ipsilateral : normal
e) Global pattern
Pola ini dijumpai kelainan refleks pada jalur kontralateral maupun ipsilateral. Pola ini terdapat pada kelainan sensorineural hearing loss bilateral yang berat, kelainan conductive hearing loss bilateral, neuropati auditori atau kelainan neural yang mengenai jalur ipsilateral maupun kontralateral. Gambaran global pattern yaitu :
(1) Telinga pertama kontralaetral : tidak normal
(2) Teling kedua kontralateral : tidak normal
(3) Telinga pertama ipsilateral : tidak normal
(4) Telinga kedua ipsilateral : tidak normal

2.3.2 Acoustic reflex threshold
Acoustic reflex threshold (ART) merupakan level terendah stimulus suara yang dapat memunculkan respon refleks akustik berupa perubahan dari acoustic immittance yang dapat diukur. Paparan stimulus diatas ART juga menghasilkan respon refleks akustik. Secara klinis refleks akustik di periksa pada frekuensi 500, 1000 dan 2000 Hz, kadang menggunakan Broad Band Noise (BBN). Pemeriksaan pada frekuensi 4000 Hz tidak direkomendasikan karena pada usia muda dengan pendengaran normal, akan terjadi elevasi ART dan kemungkinan mengarah pada adaptasi cepat (rapid adaptation). Untuk kepentingan skrening pemeriksaan biasanya menggunakan frekuensi 1000 Hz. Instrumen yang dipergunakan sebaiknya cukup sensitif untuk mendeteksi respon refleks yang dimunculkan oleh BBN kurang lebih 60 dB SPL (sound pressure level). 3,18
ART normal rata- rata berkisar antara 60- 100 dB SPL (rata-rata 70-90 dB) untuk stimulasi dengan nada murni dan kurang lebih 20 dB untuk stimulasi dengan BBN. Tidak didapatkan perbedaan signifikan antara ART pada laki-laki dan wanita. Magnitudo refleks kontralateral pada usia muda (20-an) lebih besar dibanding usia lanjut (70-an). 10,19

2.3.3 Acoustic reflex decay
Acoustik reflex decay (Adaptation) merupakan pengurangan magnitudo dari respon refleks akustik selama paparan dari stimulus terus menerus sampai 50 % selama paparan 10 detik (gambar 6). Acoustic reflex decay lebih sering diukur pada jalur kontra lateral karena pada jalur ipsilateral lebih sedikit terjadi. Acoustic reflex decay dihubungkan dengan kelainan retrokokhlea misalnya pada vestibuler schwanoma.15

Gambar 6 Acoustic reflex decay3

2.3.4 Acoustic reflex latency
Acoustic Reflex Latency merujuk pada lama waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya refleks akustik setelah paparan stimulus. Penundaan pemunculan respon diukur dari onset stimulus sampai awal munculnya respon. Pengertian awal respon adalah saat dimana immittance berdeviasi dari prestimulus baseline atau pada saat perubahan immittance mencapai 10 % dari nilai maksimum.. Acoustic reflex latency normal pada kelainan kokhlea dan usia 50 th-an serta memanjang (lebih dari 200 ms) pada kelainan retrokokhlea dan usia 60 th-an. Acoustic reflex latency normal adalah 12 ms apabila kontraksi muskulus stapedius diukur langsung dengan elektromiografi dan pengukuran tidak langsung kurang lebih 107 ms (40-180 ms). 3,13

3. Artiklinis Perubahan Refleks Akustik Telinga Tengah
3.1 Kelainan Konduksi
Kelainan konduksi menyebabkan peningkatan dari ART atau respon refleks akustik negatif. Refleks akustik negatif muncul sebagai respon yang tidak dapat dihasilkan pada level stimulus tertinggi, khususnya pada 125 dB HL untuk pemeriksaan kontralateral. Prinsip stimuli telinga pada kelainan konduksi adalah pengurangan level stimuli yang mencapai kokhlea oleh sejumlah air-bone gap. Sebagai hasilnya, ART menjadi naik oleh besaran air-bone gap tersebut dan negatif bila peningkatannya melebihi level stimulus maksimum. Gangguan pada refleks akustik tergantung pada jenis kelainan konduksi dan struktur konduktif telinga yang terlibat.3,16
3.2 Kelainan Sensorineural
Pada kelainan sensorineural, ART mengalami perubahan yang bervariasi dan tergantung pada letak lesi.3
3.3 Kelainan Retrokokhlea
ART pada kelainan retrokokhlea berhubungan dengan peningkatan refleks akustik telinga tengah, biasanya refleks menghilang pada stumulus maksimum. Didapatkan pula acoustic reflex decay dan acoustic reflex latency.3
3.4 Kelainan Susunan Saraf Pusat
Kelainan refleks akustik dihubungkan dengan kelainan intra-axial brainstem, karena kelainan pada tempat ini seringkali merusak salah satu atau kedua jalur refleks akustik yang menyilang. Kelainan ART, magnitudo (acoustic reflex decay) dan waktu aktivasi dilaporkan pada penyakit demyelinisasi seperti multiple sclerosis dan kelainan neuromuskular (misalnya : Miastenia Gravis), vestibular schwanoma, acoustic neuroma. Kelainan diatas jalur refleks (cortical lession) tidak menimbulkan perubahan pada refleks akustik telinga tengah .3,15
3.5 Kelainan nervus facialis
Jalur N. VII dimulai dari brainstem melalui internal auditory canal dan keluar melewati bagian telinga dalam sebelum berakhir pada daerah wajah. Lokasi cedera tersering adalah pada foramen stilomastoid, dimana sebelum pada tempat inilah N. VII masuk memberi cabang inervasi untuk muskulus stapedius. Perjalanan anatomi ini dapat menjelaskan apabila kelainan N. VII berupa Bell’s palsy (idiophatic peripheral facialis nerve palsies) maka refleks akustik bisa normal. Kelumpuhan nervus fasialis yang berhubungan dengan akustik neurinoma pada daerah sebelum telinga dalam maka terdapat kelainan refleks akustik telinga tengah.1

RINGKASAN

Refleks akustik sebagai salah satu fungsi telinga tengah berkaitan dengan perubahan impedance. Refleks akustik merupakan hasil dari kontraksi muskulus tensor timpani dan stapedius yang bersifat sinergis. Pada manusia peran dari refleks stapedius lebih besar dibanding dengan refleks tensor timpani. Refleks akustik dapat menggambarkan keadaan komponen yang terlibat dalam jalur panghantarannya meliputi osikula, muskulus, saraf (aferen dan eferen) dan pusat di brainstem.
Gambaran refleks yang tidak normal harus dikaitkan dengan klinis penderita. Pemeriksaan refleks akustik yang dianjurkan yaitu pemeriksaan secara ipsilateral maupun kontralateral dengan tujuan penegakan diagnosa akan lebih baik. Pemeriksaan yang baik membantu menentukan letak kelainan sehingga terapi lebih tepat sehingga memperbaiki prognosis.


















Tuesday, August 16, 2011

INFLAMMATORY PSEUDOTUMOR SINONASAL


PENDAHULUAN

Inflammatory pseudotumor didefinisikan sebagai lesi yang secara klinis dan radiologi menyerupai neoplasma, dengan peradangan kronis non spesifik yang luas. Tumor ini tidak memperlihatkan gambaran patologi anatomi secara khusus dalam satu kesatuan, tetapi berupa bentukan keradangan kronik non spesifik dan gambaran inflamasi yang luas.1,2

Beberapa ahli patologi memberikan klasifikasi berdasarkan asal kejadiannya seperti idiopatik, regeneratif post traumatik, embriologik, endokrin, iatrogenik dan infeksi. Inflammatory pseudotumor berbeda dengan neoplasma bukan hanya secara histologi tetapi juga secara klinis mempunyai sifat sembuh sendiri dan adanya kemungkinan untuk regresi spontan.1,3

Penyebab penyakit ini belum diketahui secara pasti, muncul sebagai massa yang progresif, dapat ditemukan dibeberapa lokasi. Lokasi yang sering ditemukan adalah paru, traktus urinarius dan saluran cerna. Pada regio kepala leher sering ditemukan di mata dan sedikit ditemukan pada mulut, orofaring, nasofaring, ruang parafaring, sinus paranasal, glandula saliva, laring, trakea, tiroid, otak dan tulang temporal.3

Secara makroskopis tampak massa berwarna putih, abu-abu atau kuning kecoklatan dan tanpa kapsul. Secara mikroskopis tampak jaringan fibrous dengan sel- sel inflamasi kronik serta adanya proliferasi fibroblas dan jaringan ikat.1,3

Tujuan penulisan makalah ini adalah melaporkan satu kasus inflammatory pseudotumor sinonasal serta penatalaksanaannya

LAPORAN KASUS

Tn AH, 59 tahun, datang di URJ THT-KL RSUD Dr. Soetomo (09-03-11) dengan keluhan timbul benjolan di pipi kiri sejak 5 bulan sebelumnya. Benjolan semakin lama bertambah besar, mudah berdarah bila membuka mulut atau terkena makanan padat. Pasien hanya bisa makan bubur. Terdapat riwayat cabut gigi sebelah kiri atas 1 bulan sebelum benjolan timbul. Hidung kiri buntu sejak satu tahun, kadang keluar ingus campur dara, Kadang terasa nyeri disekitar pipi. Tidak demam, tidak sakit kepala. Tidak ada riwayat diabetes, tidak merokok, tidak minum minuman keras, tidak ada riwayat trauma. Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum cukup, tanda vital stabil, telinga dalam batas normal. Kavum nasi sinistra sempit, tampak massa warna kecoklatan dan mudah berdarah. Tampak massa dalam mulut ukuran 10 x 10 x 15 cm konsistensi kenyal sebagian rapuh mudah berdarah (gambar 1). Tidak ada pembesaran kelenjar kepala leher. Pemeriksaan darah lengkap didapatkan Hb 8 mg%, lainnya dalam batas normal.

Gambar 1. Pasien AH, tampak pipi sebelah kiri bengkak dengan massa didalam mulut berwarna kecoklatan, konsistensi kenyal, sebagian rapuh mudah berdarah

Pada foto Waters didapatkan kesan gambaran massa di sinus maksila sinistra meluas ke etmoid dengan destruksi tulang sekitarnya (gambar 2).

Gambar 2. Foto Waters, tampak gambaran massa di sinus maksila sinistra

Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) dengan dan tanpa kontras, kesan tampak massa maligna sinonasal sinistra menyempitkan nasofaring dan orofaring, tidak ditemukan perluasan pada intra parenkim otak (gambar 3).




Gambar 3. MRI dengan dan tanpa kontras potongan aksial

Pemeriksaan multi slice computed tomography scanning (MSCT Scan) dengan dan tanpa kontras, ditemukan gambaran massa solid ekspansif dengan area nekrotik dan kalsifikasi disertai gas forming didalamnya ukuran 5,6 x 5,4 x 4,8 cm pada sinus maksila-etmoid kiri yang meluas ke kavum nasi kiri dan jaringan lunak mandibula kiri yang mendesak dan menyebabkan penipisan korteks tulang sekitarnya, meluas ke kavum orbita kiri dan nasofaring kiri, mendesak septum nasi ke sisi kanan dan mengisi dasar kavum oris kiri (gambar 4).




Gambar 4. MSCT Scan dengan kontras potongan koronal dan sagital

Pemeriksaan patologi anatomi telah dilakukan sebanyak delapan kali. Fine needle aspiration biopsy (FNAB) pertama (02-11-10) dilakukan di Malang, pada tumor ginggiva didapatkan hapusan sebaran sel-sel radang polymorphonuclear (PMN) disertai beberapa sel dengan inti atipik, mengesankan radang nonspesifik. Biopsi kedua (05-11-10) pada sinus maksila, kavum nasi sinistra dan palatum, didapatkan jaringan nekrotik dengan infiltrasi sel- sel radang PMN dan mononuclear (MN), bentukan rongga- rongga dengan perdarahan yang luas, serta jaringan berbentuk tonjolan berlapiskan epitel silindris bersilia, stroma meradang menahun, mengesankan radang menahun, tidak didapatkan tanda keganasan. Biopsi ketiga (16-11-10), tampak jaringan dengan perdarahan luas disertai jaringan ikat padat meradang menahun diffuse dilapisi epitel kavum nasi, mengesankan sebagai keradangan kronik tidak didapatkan tanda keganasan. Biopsi keempat (28-01-11) pada bukal, jaringan sela gigi rahang atas sinistra dan palatum, diperoleh jaringan nekrotik radang menahun, tidak didapatkan keganasan. Biopsi kelima (09-03-11) dilakukan di RSUD Dr Soetomo, pada kavum nasi sinistra, tampak potongan jaringan sebagian dilapisi epitel respirasi, dibawahnya tampak kelenjar seromukus dengan sebukan sel radang PMN, MN dan sedikit eosinofil, tidak tampak tanda keganasan, mengesankan radang kronik supuratif. Biopsi keenam (16-03-11) pada kavum oris sinistra, menunjukan potongan jaringan terdiri dari nekrotik luas dengan koloni mikroorganisme, tidak tampak jaringan sehat, dikesankan jaringan nekrotik. Pemeriksaan ketujuh dengan FNAB guiding CT scan (28-03-11), mengesankan suatu keradangan.

Berdasarkan gejala klinis, gambaran radiologi dan hasil patologi anatomi sebanyak tujuh kali, ditegakkan diagnosis kerja suatu tumor sinonasal kesan ganas.

Dilakukan operasi (03-05-11) berupa pengangkatan tumor pada sinus maksila, kavum nasi dan kavum oris dengan pendekatan maksilektomi medial (gambar 5). Mula-mula dilakukan pengangkatan tumor di kavum oris, dilanjutkan insisi Moure sebelah kiri sampai membelah bibir, tampak massa berwarna coklat kehitaman konsistensi padat kenyal dan sebagian rapuh (gambar 6) pada sinus maksila sampai kavum nasi dan meluas ke kavum oris melalui sulkus ginggivobukal sebelah kiri, dilakukan pengangkatan tumor sebanyak mungkin. perdarahan selama operasi sebanyak 700 ml



Gambar 5. Tampak garis insisi Moure

pada operasi maksilektomi medial


Gambar 6. Tampak massa berwarna coklat kehitaman konsistensi padat kenyal dan sebagian rapuh

Hasil pemeriksaan patologi anatomi pasca operasi, tampak potongan jaringan yang sebagian dilapisi epitel respirasi, stroma terlihat sembab dengan sebukan sel- sel radang limfosit, sel plasma, histiosit serta kelenjar sereus juga tampak daerah nekrotik luas, disertai hialinisasi, tidak tampak tanda keganasan, mengesankan suatu radang kronik supuratif non spesifik, tidak ada keganasan (gambar 7).

Gambar 7. Gambaran patologi anatomi pasca operasi berupa

keradangan supuratif kronik non spesifik

Berdasarkan hasil patologi anatomi pasca operasi dengan gambaran klinis yang ada dan gambaran radiologi, dibuat diagnosis sebagai inflammatory pseudotumor sinonasal.

Evaluasi dua minggu setelah operasi (18-03-11), pasien dapat makan dan minum dengan baik, tidak ada keluhan telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher, tampak luka jahitan sudah sembuh (gambar 8)

Gambar 8. Evaluasi dua minggu setelah operasi

DISKUSI

Lesi yang menyerupai neoplasma baik secara klinis maupun radiologi merupakan suatu inflammatory pseudotumor, telah dilaporkan dapat terjadi pada hampir setiap bagian dalam tubuh. Paling sering ditemukan di paru dan mata, namun jarang ditemukan di sinus maksila.4,5 Inflammatory pseudotumor pada sinus paranasal atau mulut lebih sering merupakan perluasan dari tumor utama di mata.2 Pada kasus ini pseudotumor berada pada sinus maksila yang meluas ke rongga mulut. Suatu studi memperlihatkan rasio laki-laki dibanding perempuan 1,5 banding 1, dengan rata- rata umur 33 tahun (bekisar 2-67 tahun).1

Inflammatory pseudotumor merupakan lesi dengan penyebab yang belum diketahui, namun demikian beberapa penulis berasumsi bahwa asal penyakit ini adalah segala sesuatu yang menyebabkan terjadinya stimulus inflamasi, adanya gangguan metabolisme atau merupakan interaksi antigen-antibodi yang tidak lagi dapat diidentifikasi dalam aspirasi atau bahan biopsi.2 Sumber inflamasi kasus ini tidak diketahui dengan pasti, kemungkinan setelah cabut gigi

Terdapat beberapa sinonim penyakit ini yaitu histiocytoma, xanthogranuloma, plasmocytic cell granuloma, and inflammatory myofibroblastic proliferation, hal ini didasarkan pada gambaran histologi yang terlibat. Histologi non spesifik memperlihatkan dua tipe sel yaitu miofibroblas dan sel inflamasi. Miofibroblas menampakan vimetin pada 99% kasus dan aktin 89-92 % kasus pada pemeriksaan imunohistokimia, selain itu juga memperlihatkan adanya desmin 69% dan sitokeratin 36%. Gambaran inflamasi terdiri dari limfosit, plasmosit dan granulosit dalam proporsi yang bervariasi. Sel- sel ini ditemukan bersamaan adanya edema jaringan ikat, dengan kapiler yang tipis.1,2 Ada juga yang membagi gambaran histologi inflammatory pseudotumor ini menjadi :(1) gambaran miksoid, vaskular dan daerah inflamasi yang luas;(2) terdapat sel spindle (sel jaringan ikat) yang diliputi oleh sel- sel inflamasi;(3) terdapat sel yang menyerupai kolagen.6,7 Kasus diatas ditemukan adanya sel kelenjar, sel- sel limfosit, sel plasma, sel histiosit, yang merupakan gambaran inflamasi kronik.

Berbagai macam temuan klinis pada pasien dengan inflammatory pseudotumor tergantung pada tingkat pertumbuhan lesi dan struktur yang terkena, seperti batuk kronis (sebagai akibat pertumbuhan endobronkial), batuk kering, demam, nyeri pleura, nyeri epigastrium dan gejala sistemik berupa malaise, penurunan berat badan, kelelahan dan sinkop. Gambaran klinis pseudotumor sinonasal nonspesifik dapat berupa nyeri atau adanya obstruksi nasal, perdarahan hidung, proptosis, bengkak pada hidung, wajah tidak simetri, pembesaran kelenjar limfe, disfagi atau disfungsi saraf kranial, adanya edema, eritema dan demam diakibatkan oleh sumber inflamasinya, namun demikian semua gejala ini tidak dapat digeneralisasi.2,4,8 Pada kasus ini gejala yang terlihat adalah obstruksi nasal, perdarahan hidung, wajah tidak simetri, tidak ada pembesaran kelenjar. Terdapat angka rekurensi sebesar 37% pada kasus inflammatory pseudotumor abdomen dan mediastinum.1,2

Tumor ini bersifat agresif secara lokal, sangat berlawanan dengan tumor jinak lainya. Temuan MSCT scan pada inflammatory pseudotumor maksila, memperlihatkan gambaran yang lebih agresif dibanding tumor yang berlokasi di mata. Gambaran jaringan lunak pada pseudotumor sinus maksila berupa erosi, remodeling, sklerosis dan penipisan tulang, menyerupai tumor ganas.8,9,10 Pada kasus ini didapatkan penipisan korteks tulang. Multipel biopsi sangat diperlukan dalam menegakkan diagnosis inflammatory pseudotumor untuk menghilangkan kemungkinan adanya tumor jinak dan ganas, penyakit kolagen, vaskulitis, infeksi.2,11 Telah dilakukan delapan kali biopsi dan hanya didapatkan keradangan kronis. Kelainan darah yang dapat menyertai berupa anemia, hypergammaglobulinemia dan increased hemosedimentation. Kasus ini hanya terdapat anemi.1,12

Penanganan inflammatory pseudotumor dengan cara pemberian kortikosteroid, pembedahan dan radioterapi. Pemberian kortikosteroid dosis tinggi memperlihatkan hasil yang baik pada lesi awal, namun pada keadaan lanjut dengan jaringan fibrous yang lebih banyak memberikan hasil yang kurang baik. Operasi merupakan pilihan utama untuk penanganan inflammatory pseudotumor sinonasal, dilanjutkan dengan pemberian kortikosteroid pada eksisi tumor yang tidak lengkap. Terapi radiasi diberikan bila dengan pembedahan dan terapi kortikosteroid tidak berhasil atau terdapat kontraindikasi.2,4,8,13 Pada kasus ini hanya dilakukan operasi pengangkatan pseudotumor semaksimal mungkin dengan pendekatan maksilektomi medial

Meskipun gambaran klinis dan radiologi inflammatory pseudotumor sinonasal menyerupai keganasan, namun mempunyai prognosis yang baik. Tidak ada laporan tentang perubahan transformasi secara histologi dari inflammatory pseudotumor menjadi undifferentiated sarcomatous atau menjadi limfoma.14

KESIMPULAN

Dilaporkan satu kasus inflammatory pseudotumor sinonasal dengan gejala klinis maupun gambaran radiologi menyerupai suatu keganasan. Telah dilakukan pemeriksaan jaringan berkali-kali dengan hasil keradangan kronik non spesifik. Tumor dapat dikeluarkan seluruhnya melalui operasi maksilektomi medial. Perlu evaluasi dengan waktu yang cukup lama (1-5 tahun) untuk mengetahui adanya kekambuhan.